Bundanya Tantik & Thoriq. ~ Suka Baca Suka Nulis ~ Suka Masak Doyan Makan ~ Suka Jajan Suka Jalan-Jalan

Senja Yang Mengharu Biru



“ Iya Za…betul …memang sudah positif ” dan tangisnya pun pecah memeluk saya,  yang sedari tadi hanya bisa terdiam. Rasanya kepala saya berputar-putar. Gemetaran ...rasa tak percaya.

Ega, teman akrab saya sejak SMP. Kami bukan hanya sahabat dekat tapi juga sudah seperti keluarga. Seminggu yang lalu, dia baru saja kehilangan kakak iparnya, karena sakit. Saya sempat membesuk dan takziyah ke rumahnya. Kemarin sore dia mampir ke rumah saya, seperti biasa kami ngobrol sambil menikmati teh hangat dan sepiring pisang goreng.

Awalnya, …3 bulan yang lalu Kak Ina demam. Terus batuk-batuk yang tidak sembuh-sembuh. Lama kelamaan tidak mau makan sehingga badannya semakin lemah dan berat badannya turun drastis . Setiap diajak ke dokter pasti menolak. Selalu bilang, …”kakak udah minum obat, udah agak enakan dan nanti juga sembuh…”

Sampai 3 minggu yang lalu, Ega tak tahan melihat kakak iparnya sudah terbaring lemah, akhirnya membawanya ke dokter di Puskesmas dekat rumahnya. Saat itu dokter mengatakan bahwa Kak Ina harus segera dibawa ke rumah sakit daerah karena harus menjalani pemeriksaan lebih lanjut terkait batuk dan muntah-muntahnya. Kak Ina dan suaminya menolak…maunya dirawat di rumah saja. Kami berselisih paham untuk hal ini Za, …Bapak dan ibu sama seperti saya, menyuruh segera dibawa ke rumah sakit.

Ternyata, apa yang kami takutkan terjadi, 2 hari kemudian kami harus segera melarikan ke UGD karena kak Ina mengalami sesak nafas. Begitu sampai di Rumah sakit, langsung dipasang oksigen dan harus diopname.kak Ina pun harus dirawat di ruang isolasi, bersama pasien-pasien TB lainnya.

Kami sekeluarga sempat heran kenapa dokternya langsung menyuruh dirawat di ruang isolasi. Alasan perawatnya, sambil menunggu pemeriksaan lebih lanjut. Baru bisa dipindahkan ke kelas atau ruang VIP. ( dalam hati,..dokter pasti memiliki alasan yang kuat untuk melakukan hal ini…)

Saya memotong pembicaraan, “ Ga,…maafkan saya, kalau lancang. Apakah Kak Ina sudah pernah di VCT. Saya menanyakan hal ini karena saya tau masa lalu abang dan kakak iparnya, sebagai mantan pengguna narkoba. Karena setau saya biasanya pengguna narkoba yang terkena virus HIV, harus di VCT dan rentan terserang TB.

  Iya Za, …betul…kak Ina dan Bang Aan memang sudah positif mengidap HIV, sejak 10 tahun yang lalu. Tapi Eki, anak semata wayang sudah diperiksa dan hasilnya negatif. Dia  memeluk saya, …airmata yang tertahan pun luruh di pipi saya merasakan isakan Ega di bahu saya…larut dalam kesedihan.

Waktu dirawat di rumah sakit kemarin, dokter hanya mau bicara dengan abang, kami meskipun keluarga dekatnya tidak mendapatkan informasi apa pun. Kecuali bahwa kondisi kak Ina sudah sangat parah. Dan harus benar-benar diisolasi.

Eki hanya bisa memandang uminya lewat kaca karena dilarang masuk menemui ibunya. Kasihan sekali melihatnya Za.  Hanya dari kaca melambaikan tangannya…” Umi…Umi, mau makan apa. Umi cepat sembuh, biar kita bisa pulang”. sambil sesekali mengusap airmatanya. Uminya hanya bisa tersenyum lemah. Sesekali berusaha mengangkat tangannya, seolah ingin melambai. Wajah ikhlas menerima rasa sakitnya membuat kami semakin terpukul dan sedih. Sampai gordin jendela ruang ICU ditutup , baru Eki mau diajak pulang.

Pikiran saya pun melayang, saat jenazah ibunya disemayamkan di rumah Ega, bocah berumur 10 tahun ini ,meskipun sambil menangis tersedu-sedu, tetap mengaji di dekat ibunya. Kami semua yang berada di situ tak mampu menahan haru. Sepertinya, Abinya yang kelihatan tegar, sudah mempersiapkan Eki bila sewaktu-waktu perpisahan ini terjadi.

Kemudian Ega meneruskan ceritanya lagi….

Ada hal yang sangat kami khawatirkan Za. Dampak kejiwaan bagi Eki. Karena sudah ada beberapa orang keluarga serta kerabat bahkan tetangga yang tahu, bahwa Bang Aan pengidap HIV dan Kak Ina meninggal karena HIV. Mereka mulai mengambil jarak.

Abinya bilang, setelah Eki tamat Sekolah Dasar dia akan mengantarkan anaknya ke Pesantren di daerah Jawa Timur. Keluarga tidak usah khawatir, ndak apa-apa manusia mengucilkan kami. Tapi Allah Maha Rahman dan Rahim. Insya Allah dengan maunahNya kami akan diberikan kemudahan untuk menjalani ini semua.

Saya berpesan kepada Ega, saat ini, dukungan keluarga yang luar biasa sangat mereka butuhkan. Serta menjaga dan mendampingi Eki dengan sebaik-baiknya.  

Sepulangnya Ega… tangis saya pun pecah. Sedih…karena saya tahu perjalananan Bang Aan sampai terjerumus menjadi pengguna narkoba. Bang Aan yang sejak di Sekolah Dasar menjadi bintang kelas, berubah seratus delapan puluh derajat saat SMA. Ayahnya yang menikah lagi dan mulai tidak memperdulikan mereka  membuat dia menjadi salah langkah, salah memilih teman.

Keakraban dan keharmonisan di dalam keluarga sudah tidak didapatkannya lagi. Setiap hari hanya melihat pertengkaran ayah dan ibunya. Ega dulu sering curhat kepada saya. kenapa saat hidup mereka sederhana mereka bahagia. Tapi sebaliknya, ketika harta berlimpah justeru kebahagiaan itu tidak didapatkannya lagi.

Sampai suatu hari, Bang Aan mendapat hidayah. Kemudian mengajak Kak Ina untuk bertobat, berhenti menggunakan narkoba untuk mendekatkan diri kepada Allah dan  memulai kehidupan yang baru.

Buat saya, cerita Ega ini bukan hanya sekedar curhatan seorang sahabat. Ada  ibroh di sana,…terutama sebagai orangtua yang memiliki anak remaja jelang dewasa. Juga sebagai anggota masyarakat, saya mesti lebih cerdas dan bijaksana, saat berhadapan dengan penderita HIV. Sehingga keberadaan mereka tidak menjadi momok yang menakutkan yang harus dijauhi dan dikucilkan.

Ternyata, harta yang berlimpah belum tentu membuat kita bahagia. Sebagai orangtua, selain  menjadi uswatun  bagi anak-anak, kita juga harus bisa menjadi sahabatnya. Agar mereka tidak curhat dengan orang yang salah. Mengajak mereka untuk selalu Taqarrub Ilallah, mendekatkan diri kepada Allah. Sehingga ketika ada persoalan, diyakini betul,….Allah bersama kita, dan Allah adalah sebaik-baiknya penolong.


=========================

1 komentar:

Adbox

Galeri Poto